Ini adalah hari keduaku sebagai
pelancong. Di sini aku berdiri, tepat di depan Camp Nou stadium, Barcelona. Menawarkan
atribut kesebelasan El-Barca kepada mereka yang lewat. Beberapa
syal dan sarung tangan sudah laku terjual. Sisanya tinggal beberapa. Tujuanku
berdagang adalah agar dapat membeli satu lembar tiket masuk pertandingan Barcelona melawan Real Madrid yang akan dimulai beberapa jam lagi. Uangku tidak
cukup akibat hilang sebagian di taksi tadi, jadi aku memutuskan untuk menjual
beberapa atribut yang kubawa dari Indonesia.
Selama berjualan, ada lelaki
tua yang terus mengganggu pikiranku. Dia sedang berbaring di sebuah bangku kayu
di bawah pohon rindang dengan posisi badan menghadap ke kanan membelakangiku. Kakinya
ditekuk, tangannya saling menyilang satu sama lain seperti sedang menahan
dinginnya udara. Aku sempat menebak dia seorang pengemis. Tampak dari
pakaiannya yang lusuh dan tak karuan.
Waktu terus berlalu. Berkali-kali aku
menggosok kedua tangan dan meniupnya. Udara di sini sangat dingin. Mulutku
mengeluarkan asap setiap kali bicara. Kulihat jam yang menempel di lengan
kiri. Waktu tinggal beberapa puluh menit lagi menuju kick off dan uangku masih
belum cukup untuk membeli satu lembar tiket. Aku sangat cemas dan kebingungan. Tidak tahu apalagi yang harus kulakukan. Ke sana ke mari atribut sudah
kutawarkan, tapi tak ada seorang pun yang ingin membelinya lagi. Sepertinya
daganganku tidak akan habis. Mungkin memang sudah takdir aku tidak dapat
menyaksikan pertandingan ini langsung dari dalam.
Dengan wajah muram, aku berjalan
menuju bangku tempat si lelaki tua itu berbaring, untuk menenangkan pikiran sejenak. Melewati taman yang sebelumnya ramai oleh para supporter, sekarang
sudah sepi seperti kota yang hendak mati. Hatiku sangat sedih. Ingin rasanya
menangis dan berteriak kencang. Dia adalah klub favoritku, sudah
seharusnya aku berada di dalam.
Ketika aku duduk di sebelahnya. Tiba-tiba
dia berkata “ham...briento” berulang-ulang dengan aksen spanyolnya yang berarti lapar. Suaranya serak, basah dan lemah.
“Ya?” alisku mengernyit. Memandangi dia yang sedang menggigil kedinginan
Dia terus mengucapkan kata lapar
berulang-ulang. Ketika kulihat, wajahnya sangat pucat. Badannya kaku
kedinginan. Dengan cepat aku segera mengeluarkan dagangan mulai dari kupluk,
syal, sarung tangan, dan langsung memakaikannya. Matanya
tertutup lemah. Kantungnya yang besar pun seakan tak mampu membukanya.
“ham...briento” dia terus
mengucapkan kata itu.
Untungnya aku memiliki uang hasil
dagang tadi. Tanpa pikir panjang, aku segera membeli dua buah hotdog dan air. Kondisinya cukup lemah. Tangannya tak berhenti bergetar
selama ia melahap hotdognya.
Tak lama kemudian ketika aku
sedang menemani lelaki tua ini makan, seorang gadis muda berambut cokelat dan
berbadan tinggi layaknya model datang menghampiriku dan menyapa. Dia menatapku
penuh wibawa dari balik pupilnya yang cokelat sedikit kehitaman. Dia bertanya apa aku berjualan
hanya untuk memberi makan lelaki tua ini? Aku menceritakan semuanya dari awal
sampai akhir tentang tujuanku yang sebenarnya. Dia menyimak dengan serius,
mengerti, dan terharu. Ternyata dia memperhatikanku selama berjualan di sekitar stadion sembari menunggu temannya yang datang. Dengan kerendahan hati
dia mengajakku nonton pertandingan di dalam. Dia memiliki dua lembar tiket,
satu untuknya dan satu lagi untuk temannya. Karena temannya mendadak tidak bisa
datang, jadi dia mengajakku.
Bogor, 29 September 2014
Mohammed Bagus Dwianto a.k.a King Adot
Mohammed Bagus Dwianto a.k.a King Adot